nasution

Nama :
ABDUL HARIS NASUTION

Lahir :
Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 3 Desember 19

Agama :
Islam

Pendidikan :
– HIS, Yogyakarta (1932)
– HIK, Yogyakarta (1935)
– AMS Bagian B, Jakarta (1938)
– Akademi Militer, Bandung (1942)
– Doktor HC dari Universitas Islam Sumatera Utara, Medan (Ilmu Ketatanegaraan, 1962)
– Universitas Padjadjaran, Bandung (Ilmu Politik, 1962)
– Universitas Andalas, Padang (Ilmu Negara 1962)
– dan Universitas Mindanao, Filipina (1971)


Karir :
– Guru di Bengkulu (1938)
– Guru di Palembang (1939-1940)
– Pegawai Kotapraja Bandung (1943)
– Dan Divisi III TKR/TRI, Bandung (1945-1946)
– Dan Divisi I Siliwangi, Bandung (1946-1948)
– Wakil Panglima Besar/Kepala Staf Operasi MBAP, Yogyakarta (1948)
– Panglima Komando Jawa (1948-1949) ; KSAD (1949-1952)
– KSAD (1955-1962)
– Ketua Gabungan Kepala Staf (1955-1959)
– Menteri Keamanan Nasional/Menko Polkam (1959-1966)
– Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (1962-1963)
– Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (1965)
– Ketua MPRS (1966-1972)


Alamat Rumah :
Jalan Teuku Umar 40, Jakarta Pusat Telp: 349080
 

Sampai dengan pertengahan 1986, lima dari tujuh jilid memoar perjuangan Pak Nas — panggilan akrab Abdul Haris Nasution — telah beredar. Yaitu Kenangan Masa Muda, Kenangan Masa Gerilya, Memenuhi Panggilan Tugas, Masa Pancaroba, dan Masa Orla. Dua sisa memoar terbitan PT Gunung Agung itu, Masa Kebangkitan Orba dan Masa Purnawirawan, sedang dalam persiapan. Masih ada beberapa bukunya yang telah terbit lebih dahulu, seperti Pokok- Pokok Gerilya, TNI (dua jilid), dan Sekitar Perang Kemerdekaan (11 jilid).

Ia dibesarkan dalam keluarga tani yang taat beribadat. Ayahnya anggota pergerakan Sarekat Islam di kampung halaman mereka di Kotanopan, Tapanuli Selatan. ”Sejak remaja, saya suka membaca cerita sejarah,” tutur Ris, panggilan akrab Nas di masa kanaknya.

Anak kedua dari tujuh bersaudara ini melahap dari sejarah Nabi Muhammad sampai tentang perang kemerdekaan Belanda dan Prancis. Selepas AMS-B (SMA Paspal), 1938, Ris sempat menjadi guru di Bengkulu dan Palembang. Tetapi kemudian ia tertarik masuk Akademi Militer di zaman Belanda, yang terhenti karena invasi Jepang, 1942.

Sebagai taruna, ia mengaku langsung menarik pengalaman berharga dari kekalahan Tentara Kerajaan Belanda yang memalukan itu. Ini melahirkan keyakinannya, ”Tentara yang tidak mendapat dukungan rakyat pasti kalah.” Dalam Revolusi Kemerdekaan I, 1946-1948, dan saat itu Pak Nas menjabat Panglima Divisi Siliwangi, ia menarik pengalaman kedua. Dari sinilah lahir gagasannya tentang perang wilayah sebagai bentuk perang rakyat dalam kondisi Indonesia.

Sistem ini dengan leluasa dikembangkannya setelah ia menjadi Panglima Komando Jawa dalam masa Revolusi Kemerdekaan II, 1948-1949. Orang yang di masa mudanya mengagumi Soekarno ini mengaku ”selama bertugas dulu ada kalanya saya dalam keadaan akur dan tidak akur dengan Bung Karno.” Karena merasa BK ”ikut campur dengan memihak dalam pergolakan Angkatan Darat”, 1952, ia menggerakkan apa yang kemudian terkenal dengan ”Peristiwa 17 Oktober”, yang menuntut pembubaran DPRS dan pembentukan DPR baru. Ini membuatnya diberhentikan sebagai KSAD. Diangkat kembali sebagai KSAD pada 1955, masa berikutnya, terutama setelah meletusnya pemberontakan PRRI/Permesta, Nas berada dalam ”keadaan akur” dengan BK. ”Bahkan KSAD jadi co- formateur dalam pembentukan Kabinet Karya dan Kabinet Kerja,” tuturnya. Setelah keamanan dapat dipulihkan dan Irian Barat (kini Irian Jaya) direbut, perbedaan pendapat kemudian berporos pada sikap BK yang ”memberi angin” kepada PKI.


Namun, dalam keadaan berselisih paham pun, Nasution tampak berusaha jujur kepada sejarah dan hati nuraninya. Soekarno tetap diakuinya sebagai pemimpin besar. Ketika pada 1960 ditanya oleh seorang wartawan Amerika, Pak Nas berkata, ”Beliau sudah dalam penjara untuk kemerdekaan Indonesia, sebelum saya sadar akan perjuangan kemerdekaan.” Ini diceritakannya kembali pada 1979.


Tokoh politik yang menjadi salah seorang pendiri Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi dan penanda tangan Petisi 50 ini secara tidak langsung juga memperteguh pernyataan Presiden Soeharto bahwa dialah (Pak Harto) yang menjadi pengambil inisiatif Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta ketika menjadi komandan Wehrkreise/komandan Brigade TNI di wilayah itu. ”Pelaksanaan operasional wilayah terutama di tangan komandan wehrkreise, tetapi dalam keadaan belum terkonsolidasi bisa juga di tangan komandan sub-wehrkreise yang lebih rendah,” katanya menjawab Pikiran Rakyat, 7 November 1985.


Sejak muda, Nasution gemar bermain tenis. Di lapangan tenis pula, di Bandung, ia berkenalan dengan Johana Sunarti, putri kedua R.P. Gondokusumo, aktivis Partai Indonesia Raya (Parindra) sebelum Perang. Nas, ayah dua anak dan pemegang beberapa gelar doktor honoris causa dari sejumlah perguruan tinggi ini, karena kesehatannya, kini dilarang dokter bermain tenis.
Ia kakek empat cucu dari satu-satu anaknya kini, Yanti.


UPDATE 2003:
Mantan Kasad Jenderal Besar (Purn) AH Nasution Rabu, 6 September 2000, meninggal dunia di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Pak Nas tutup usia sekitar pukul 07.30 WIB dalam usia 82 tahun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *